Aliran realisme ialah aliran yang ingin mengemukakan kenyataan, barang yang lahir (lawan batin). Sifatnya harus obyektif karena pengaranag melukiskan dunia kenyataan. Segala-galanya digambarkan seperti apa yang tampak, tak kurang tak lebih. Rasa simpati dan antipati pengarang terhadap obek yang dilukiskannya, tak boleh disertakannya. Dengan perkataan lain, pengarang dalam ceritanya itu tidak ikut bermain, dia hanya penonton yang obyektif.
Kalau aliran realisme melukiskan apa yang tampak, yang nyata, maka seniman ekspresionisme merasakan apa yang bergejolak dalam jiwanya. Pengarang ekspresionisme menyatakan perasaan cintanya, bencinya, rasa kemanusiaannya, rasa ketuhanannya yang tersimpan di dalam dadanya. Baginya, alam hanyalah alat untuk menyatakan pengertian yang lebih tentang manusia yang hidup.
Kalau seniman impresionistis menyatakan kesannya sesudah dia melihat sesuatu, maka seniman ekspresionistis mengeluarkan rasa yang menyesak padat di dalam kalbunya dengan tak memerlukan rangsangan dari luar. Sifat lukisannya subyektif. Pernyataan jiwa sendiri ini terutama dinyatakan dengan bentuk puisi karena puisi adalah alat utama pujangga sastra untuk melukiskan perasaannya. Sajak-sajak Chairil Anwar kebanyakan ekspresionistik sifatnya.
Ke dalam aliran ekspresionisme termasuk juga aliran-aliran: romantic, idealisme, mistisisme, surealisme, simbolik, dan psikologisme.
Aliran naturalisme ingin melukiskan keadaan yang sebenarnya, sering cenderung kepada lukisan yang buruk, karena ingin memberikan gambaran nyata tentang kebenaran. Untuk melukiskan kejelekan masyarakat, pengarang naturalis tidak segan-segan melukiskan kemesuman. Emelia Zola seorang pengarang naturalis Perancis yang paling besar di zamannya. Sering lukisannya dianggap melampaui batas kesopanan sehingga seolah-olah tidak ada lagi batas-batas ukuran susila dan ketuhanan padanya.
Determinisme ialah cabang aliran naturalisme, bias diartikan ‘paksaan nasib’. Tetapi bukan nasib yang ditentukan oleh keadaan masyarakat sekitar seperti kemiskinan, penyakit, penyakit keturunan, kesukaran karena akibat peperangan, dan sebagainya. Yang menjadi soal dalam karangan-karangan aliran ini ialah penderitaan seseorang: jahatkah, melaratkah, menderita karena penyakit keturunan, bukan karena Tuhan sudah menakdirkan dia harus hidup demikian, melainkan sebagai akibat masyarakat yang bobrok. Masyarakat yang bobroklah yang melahirkan manusia-manusia seperti itu. Cara pengarang melukiskan juga naturalistic.
Pengarang impresionistis melahirkan kembali kesan atas sesuatu yang dilihatnya. Kesan itu biasanya kesan sepintas lalu.Pengarang takkan melukiskannya sampai mendetail, sampai kepada yang sekecil-kecilnya seperti dalam aliran realisme atau naturalisme sipaya ketegasan, spontanitas penglihatan, dan perasaan mula pertama tetap tak hilang. Lukisan seperti itulah lukisan beraliran impresionisme.
Aliran romantic mengutamakan rasa, sebagai lawan aliran realisme. Pengarang romantis mengawan kea lam khayal, lukisannya indah membawa pembaca kea lam mimpi. Yang dilukiskannya mungkin saja terjadi, tetapi semua dilukiskan dengan mengutamakan keharuan rasa para pembaca. Bila seseorang berada dalam keadaan gembira, maka suasana sekitarnya harus pula memperlihatkan suasana yang serba gembira, hidup, berseri-seri. Demikian juga sebaliknya. Kata-katanya pilihan dengan perbandingan-perbandingan yang muluk-muluk.
Aliran romantic terbagi pula atas aktif romantic dan pasif romantic. Dinamakan aktif romantic apabila lukisannya menimbulkan semangat untuk berjuang, mendorong keinginan untk maju. Dinamakan pasif romantic, apabila lukisannya berkhayal-khayal, bersedih-sedih, melemahkan semangat perjuangan.
Idealisme ialah aliran romantic yang didasarkan pada ide pengarang semata-mata. Pengarang memandang ke masa yang dapat memberikan bahagia kepadanya atau kepada nusa dan bangsanya. Seolah-olah pengarang seorang juru ramal yang merasa bahwa ramalannya (fantasinya) pasti atau sekurang-kurangnya mungkin terjadi.
Dalam aliran ini lukisan realitasnya bercampur angan-angan, mala angan-angan amat mempengaruhi bentuk lukisan. Di dalamnya ada pernyataan jiwa, pemasakan dalam jiwa. Kalau dalam film semua hal (gerak-gerik, suara, musik, pemandangan) dapat dinyatakan serentak, maka di dalam tulisan, hal-hal seperti itu harus dinyatakan satu demi satu. Itu sebabnya, lukisan tampak melompat-lompat dari yang satu kepada yang lain, justru untuk menyatakan keseluruhan itu sekaligus.
Payah pembaca mengikuti karangan yang bercorak surealisme. Pembaca harus menyatukan dalam pikirannya segala lukisan yang seakan-akan bertaburan itu. Jalan atau aturan tata bahasa seolah-olah diabaikan oleh pengarang karena pikiranna meloncat-loncat dengan cepat. Logika seakan-akan hilang, alam benda dan alam pikiran bercampur aduk menjadi satu. Kebanyakan sajak-sajak Sitor Situmorang beraliran surealisme.
Lukisan secara simbolik ialah lukisan yang menganbil sesuatu sebagai pelambang, sering kelihatan seperti sindiran. Pada masa jepang berkuasa di tanah air kita, sensor atas karangan-karangan amat keras. Untuk mencoba melepaskan diri dari jaringan sensor itu, dibuatlah karangan yang simbolis. Jika tidak, maka karangan ditambah lagi dengan kalimat-kalimat yang tak berarti sekedar untuk mengelabuhi mata sensor Jepang.
Dalam karangan yang simbolis biasanya binatang atau tumbuhan dilukiskan sebagai manusia dengan sifat-sifatnya. Misalnya Hikayat Kalilah dan dimnah, Hikayat Panca Tantra, Syair si Burung Pungguk.
Dalam kesusastraan Indonesia, kita lihat misalnya karangan Maria Amin Tinjaulah Dunia Sana. Tokohnya ikan-ikannya dalam akuarium. Gerak-gerik dan sifat-sifat ikan itu dilukiskannya sebagai lukisan manusia yang beraneka ragam sifatnya. Aliran simbolik sejalan dengan surealisme, yakni bahwa ala mini hanyalah sebagai batu loncatan untuk menyatakan pengertian yang lebih tentang manusia yang hidup.
Aliran ini mengutamakan penguraian psiko (jiwa). Itu sebabnya pengarang harus mempunyai pengetahuan tentang dasar-dasar jiwa manusia berdasarkan teori-teori para ahli ilmu jiwa umpamanya Freud dan Kunkel, mengetahui teeori serta mendalami jiwa manusia seperti tokoh cerita yang akan ditampilkannya. Harus tahu bagaimana jiwa orang Islam, Kristen, Budha, Hindu, sehubungan dengan agama anutan masing-masing. Harus tahu bagaimana jiwa manusia yang berpaham Marxisme, anarchisme, dan sebagainya. Dengan tak memiliki pengetahuan tersebut, sukarlah bagi pengarang melukiskan jiwa tokoh-tokoh ceritanya setepat mungkin. Contoh kaangan yang beraliran psikologisme dalam kesusastraan kita adalah Atheis karya Achdiat Kartamihardja dan Jalan tak Ada ujung karya Mochtar Lubis.
Komentar